Makna Hadits : Tidak ada Hammah, Shafar, Nau dan Ghoul
MAKNA HADITS : TIDAK ADA HAMMAH, SHAFAR, NAU DAN GHOUL
Pertanyaan.
Saya membaca hadits aneh yang meniadakan لَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَلَا نَوْءَ وَلَا غُولَ ‘Hammah’ ‘Shafar’ ‘Nau’ ‘Ghoul’ apa arti ungkapan kata-kata ini?
Jawaban
Alhamdulillah.
Ibnu Muflih Al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Dalam kitab Al-Musnad dan Ash-Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) serta lainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.
” لا هامة ولا صفر ” ، زاد مسلم وغيره ” ولا نَوء ولا غُول ”
“Tidak ada Hammah dan Shafar.’ Imam Muslim dan lainnya menambahkan “Tidak ada Nau dan Gul.”
Kata ‘Al-Hamah’ adalah kata tunggal dari ‘Al-Ham’ dahulu masyarakat jahiliyah mengatakan, “Tidak ada orang yang meninggal dunia dan dikubur kecuali akan keluar dari kuburannya serangga. Dahulu orang arab menyangka bahwa tulang mayit menjadi serangga dan terbang. Mereka mengatakan, “Bahwa orang yang terbunuh akan keluar dari kepalanya kutu. Dia senantiasa berkata, ‘Berilah saya minum, berilah saya minum sampai dia menunaikan dendamnya dan membunuh orang yang membunuhnya.”
Ungkapan ‘Tidak ada Shafar’, ada yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang merasa sial dengan masuknya bulan Shafar. Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengatakan, ‘Tidak ada Shafar’. Ada juga yang berkata, ‘Dahulu orang arab menyangka bahwa di perut ada ular yang menyerang manusia, kalau dia berjimak dan menyakitinya. Dan dia menular, kemudian agama membatalkan keyakinan tersebut. Malik mengatakan, “Dahulu penduduk jahiliyah menghalalkan bulan Shafar setahun dan mengharamkannya setahun yang lain.”
Kata ‘An-Nau’ adalah bentuk tunggal dari ‘Al-Anwa’, ia adalah delapan belas posisi, maksudnya adalah posisi bulan. Di antaranya firman-Nya Ta’ala:
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah.” [Yasin/36: 39]
Pada setiap 13 malam ada satu manzilah yang jauh di bagian barat bersamaan dengan terbit fajar, dan sebanding dengan itu, terbit lagi satu manzilah di arah timur pada waktu yang sama sehingga semuanya habis salam setahun. Dahulu orang arab menyangka bahwa saat jatuhnya sebuah manzilah dan dan kemudian terbit manzilah serupa dengan itu, akan ada hujan. Sehingga mereka menyandarkan dan mengatakan kami dapat hujan karena bintang ini dan itu. Dinamakan ‘nau’ karena apabila ia terbenam di barat dan maka akan terbit satu manzilah serupa di timur. Nau artinya: Muncul dan terbit.
Adapula yang mengatakan, “Maksud dari Nau’ adalah terbenam, dia termasuk kata yang berlawanan.
Adapun perkataan orang yang menjadikan hujan bagian dari kehendak Allah Ta’ala dan yang dia maksudkan dengan perkataan ‘Kami dapat hujan dengan bintang ini’ yaitu di bintang ini dan itu. Maksudnya adalah bahwa Allah menjadikan waktu-waktu tersebut sebagai saatnya turun hujan. Maka di kalangan kami terdapat perbedaan apakah hal ini diharamkan atau dimakruhkan.
Adapun Kata ‘Al-Ghoul’ adalah bentuk jamak dari ‘Ghailan’ yaitu jenis Jin dan Setan. Dahulu orang Arab menyangka bahwa ghoul di tanah lapang mengintai manusia lalu mereka menyusup dan berubah-ubah warnanya dengan berbagai wujud lalu menyesatkan jalan dan membinasakan mereka. Maka agama menghilangkan dan membatalkan keyakinana ini. Ada yang mengatakan demikian.
Adapula yang mengatakan, bukan meniadakan keberadaan hantu, akan tetapi membantah keyakkinan masyarakat Arab ketika itu bahwa hantu tersebut dapat berubah-ubah wujud dan menyusup masuk dalam diri manusia. Sehingga maksud ‘Tidak ada hantu’ adalah bahwa setan tidak dapat menyesatkan seorangpun. Hal itu diperkuat dengan hadits yang terakhir riwayat Muslim dan lainnya, ‘Tidak ada hantu (ghoul) akan tetapi ‘Sa’ala (tukang sihir jin).’ Kata ‘Sa’ala adalah tukang sihir jin. Jadi tukang sihir itulah yang sejatinya mengganggu dengan menyebabkan orang hilang konsentrasi dan berhalusinasi. Diriwayatkan oleh Kholal dari Thowus bahwa ada seseorang yang menemaninya, lalu ada suara burung gagak. Dia mengatakan, “Baik, baik.” Thowus berkata kepadanya, “Kebaikan apa dalam hal ini dan kejelekan apa? Engkau jangan menemaniku.” [Al-Adab As-Syar’iyyah, 3/369, 370]
Ibnu Qoyyim mengatakan, “Sebagian berpendapat bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : لا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ علَى مُصِحٍّ ‘Orang sakit tidak boleh mendatangai orang sehat.’ Terhapus oleh sabdanya : ‘لَا عَدْوَى Tidak ada (penyakit) menular’. : Ini tidak benar
Hal tersebut, karena yang dilarang adalah jenis yang tidak diizinkan. Yang ditiadakan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya adalah.
لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ
‘Tidak ada penyakit menular dan tidak ada Shafar’
Yaitu keyakinan yang mengandung kesyirikan. Karena mereka mengaitkan hal itu dan membandingkannya dengan keyakinan kesyirikan dan kekufuran mereka.
Adapun yang dilarang Nabi sallallahu alaihi wa sallam bahwa orang sakit tidak boleh mendatangi orang sehat. Hal ini ada dua penafsiran:
Pertama : Khawatir akan menyebabkan terjadinya penularan penyakit sesuai kadar yang telah Allah tetapkan. Di sisi lain, hal ini akan membuat orang yang didatangi menjadi khawatir dan membuatnya menyakini adanya penyakit menular (berdasarkan keyakinan syirik). Maka sesungguhnya di antara kedua hadits ini tidak ada kontradiksi sama sekali.
Penafsiran kedua adalah : Bahwa orang sakit yang mendatangi orang sehat dan menjadi sebab Allah menciptakan penyakit di dalamnya. Maka hal itu dianggap sebagai sebab. Kadang Allah mencegah pengaruhnya dengan sebab yang bertolak belakang atau menghalangi dengan kekuatan sebab yang ada. Hal ini murni ketauhidan, berbeda dengan apa yang diyakini pelaku kesyirikan.
Hal ini seperti peniadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas syafaat pada hari kiamat, dengan firman-Nya لَّا بَيْعٌ فِيْهِ وَلَا خُلَّةٌ وَّلَا شَفَاعَةٌ “Pada hari itu tidak ada lagi jual beli, tidak ada kekasih dan tidak ada lagi syafa’at.” Hal itu tidak bertentangan dengan hadits mutawatir yang jelas menetapkan (syafaat). Allah Subahanahu wa Ta’ala sesungguhnya meniadakan syafaat yang diyakini pelaku syirik. Yaitu syafaat yang diberikan pemberi syafaat kepada orang yang akan diberi syafaat di sisinya meskipun belum diberi izin (oleh Allah). Adapun syafaat yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu syafaat yang telah mendapatkan izin-Nya. Seperti firman-Nya.
مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ
“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?” [ Al-Baqarah/2: 255]
Firman Allah Ta’ala:
وَلَا يَشْفَعُوْنَۙ اِلَّا لِمَنِ ارْتَضٰى
“Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” [Al-Anbiya/21: 28]
Firman Allah Ta’ala
وَلَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا لِمَنْ اَذِنَ لَهٗ ۗ
“Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu.” [Saba/34: 23]
Hasyiah Tahzib Sunan Abi Dawud, (10/289-291).
Wallahul Muwafiq Lisshawab.
Refrensi: Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid
Disalin dari islamqa
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/5446-makna-hadits-tidak-ada-hammah-shafar-nau-dan-ghoul.html